TULISAN ini hanyalah sedikit cerita dari banyak dan dalamnya cerita sesungguhnya. Tapi tulisan ini juga merupakan bagian dari banyak cerita yang tidak relevan, karena ketidakmampuan banyak orang termasuk saya dalam menangkap hakikat atas kejadian mewabahnya Covid-19 yang mendunia itu.
Jangankan hakikatnya, gejalanya pun hanya berupa serpihan-serpihan saja. Bagi saya, apa yang tengah terjadi, telah membangun logika Black Swan, begitupun bagi banyak khalayak awam lainnya; terlepas seorang Nassim Nicholas Taleb, sang penulis buku The Black Swan, setuju atau tidak, dengan fenomena pandemi Covid-19 sebagai Black Swan.
“Logika Black Swan menjadikan yang tidak Anda ketahui jauh lebih relevan dibanding yang Anda ketahui”, demikian ujar Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya itu. Oleh karenanya bisa jadi, kesimpulan awalnya bahwa tulisan ini dan sekian banyak pengetahuan khalayak tentang Covid-19 adalah tidak relevan.
Akan tetapi biarpun serpihan, toh tetap dunia, ya.. karena covid-19 adalah epidemi yang ber-eskalasi menjadi pandemi. Bukan hanya berkaitan dengan pengaruh covid-19 sebagai wabah yang mematikan dan membuat 90 persen lebih negara di dunia terpapar.
Akan tetapi juga fenomena covid-19 ini telah menggerakkan sekian banyak anak manusia di dunia dari yang ahli virology dan epidemiology maupun bukan, untuk menyempatkan diri setiap harinya paling tidak berpikir, dan membahasnya dalam sudut pandang masing-masing kemampuan dan keahliannya itu.
Dunia warung kopi, asongan, kaki lima, hinggal mal atau supermarket menjadi lesu dari aktivitas jual beli, tapi tidak bagi pembahasan soal covid-19. Seiring eskalasi paparan wabahnya terhadap manusia yang mematikan itu, covid-19 makin ramai lancar diperbincangkan, hingga dunia digitalpun penuh sesak oleh trend-nya covid-19, bahkan bisa disinyalir mengalahkan perilaku alay dan pranknya para youtuber yang sebelumnya massif diminati gen Z.
Semua mata, telinga, dan kumat kamit mulut menyasar covid-19. Alhasil dunia virology dan epidemiology yang awalnya sepi menjadi riuh dalam balutan viralogy digital. Mengutip salah-satu kalimat menarik dari iklan salah satu produk rokok beberapa tahun silam, pembahasan yang penuh sesak di dunia digital laksana “terhambat dijalur bebas hambatan”, saking dunia digital yang bebas hambatan itu, sesak oleh kepadatan covid-19.
Covid-19 viral, begitulah kira-kira. Bagaimana tidak, fenomena ini telah membuat pemimpin-pemimpin dunia blingsatan, gagal paham, hingga serba salah menghadapinya, dan dengan terpaksa mengeluarkan kebijakan apapun bagi upaya memutus mata rantai penyebaran virus.
Dan tentu saja berbagai tanggapan dari sekian banyak sudut pandang disiplin ilmu muncul kepermukaan, terlepas setidak relevan apapun tanggapan tersebut. Oleh karenanya fenomena ini, selain menjadi horor, juga telah menyediakan ruang pesta pora pemikiran.
Viralnya virus ini dalam dunia digital, paling tidak saya melihat adanya kontradiksi-kontradiksi pemahaman dan urun rembuk sudut pandang dari dua pendekatan pokok, yakni pendekatan teori rekayasa alamiah dan teori rekayasa sains.
Kalangan yang memahami ini sebagai bagian dari rekayasa alamiah, lebih mendekatinya lagi dengan pemahaman teologi di satu sisi, dan dengan pemahaman ilmu alam di sisi yang lain. Secara teologi dapat kita saksikan dalam dunia digital tanggapan-tanggapan yang menempatkan perkembangan dan penyebaran wabah ini sebagai kuasa Tuhan, dan berujung pada keyakinan menempatkan azab dan cobaan.
Meskipun kadang masih saja yang banyak memahaminya dengan subjektif, sehingga mampu menyebut azab untuk kelompok atau golongan yang tidak disukainya dan cobaan bagi diri dan sekawanannya. Dari pendekatan pemikiran ini dapat kita saksikan kembali dalam dunia digital perdebatan panjang teologi-teologi agama, soal iman dan dosa besar, soal kehendak manusia dan kuasa Tuhan, bahkan hingga soal akhir zaman yang memuat pahala dan siksa.
Sementara secara ilmu alam lebih khusus melalui pendekatan virology alias ilmu virus, corona yang kemudian dikenal dengan Coronavirus Disease, yang penyebarannya berawal di Wuhan provinsi Hubei, China pada akhir 2019.
PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) melalui Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, virus yang menyebabkan penyakit mematikan ini, diumumkan dengan nama Covid-19, adalah virus lama yang berkembang seiring perkembangan alam.
Sehubungan virus adalah mikro organisme yang menjadi bagian dari hukum kosmos. Secara alamiah, covid-19 seperti virus-virus pendahulunya dianggap dapat diatasi dengan imunitas manusia. Sehingga wajar jika kemudian para ilmuwan dunia obat-obatan berlomba menganalisa virus ini dan membuat obat peningkat imunitas manusia agar terbebas dari serangan covid-19.
Dan, kalangan yang memahaminya sebagai bagian dari rekayasa sains telah menyebabkan terjadinya polarisasi pemikiran melalui pendekatan teori konspirasi. Pendekatan teori ini, diperkuat oleh asumsi yang dibumbui cocok-cocokan data. Sehingga dalam dunia digital tidak sedikit minat para penggunanya untuk menyaksikan perang teori konspirasi ini.
Tentunya bagi beberapa kalangan, menjadi kenikmatan tersendiri menyaksikan dan menyimak perkembangan covid-19 beserta dampaknya dalam suguhan yang konspiratif. Rekayasa sains dalam perkembangan dan dampak covid-19 melalui pendekatan teori konspirasi, telah memetakan polarisasinya dengan dua kutub pemikiran, yakni konspirasi keyakinan beragama dan konspirasi ekonomi politik.
Akan tetapi keduanya sama-sama menempatkan “perang” sebagai dasar. Dari sisi konspirasi keyakinan beragama menempatkan pemahaman bahwa penyebaran wabah virus ini adalah rekayasa sebagai upaya menjatuhkan atas dasar ketidak-sukaan suatu keyakinan beragama atas keyakinan beragama lainnya dimuka bumi.
Bukti-bukti yang diajukan untuk memperkuat asumsi ini adalah keluarnya kebijakan-kebijakan yang dianggap menyimpang dari proses peribadatan suatu agama. Dan ini dianggap “perang” agama.
Sementara dari sisi konspirasi ekonomi politik, penyebaran dan dampak virus ini adalah bagian dari rekayasa demi kepentingan penguasaan atas kepemimpinan ekonomi politik dunia, dan tentunya bisa jadi dipengaruhi cold war yang terjadinya sudah mau se-abad silam itu.
Bahkan disinyalir ada sejarah konspirasi kaum superkaya yang berkepentingan di dalamnya. Berdasar pendekatan ini sepertinya alam dunia beserta perilaku manusia di dalamnya belum mau move on atas perang-perang lama, baik secara keyakinan beragama maupun ekonomi politik.
Lantas, bagaimana menurut saya sebagai penulis? Kita memang tengah berperang, dan sebelum kita tahu siapa yang menang, viruskah atau manusia? Yang pasti, virus viral dalam dunia digital! Dan tentunya tekhnologi digital tidak peduli siapa yang memenangkan peperangan.
Penulis: Yosep Yusdiana, Sekretaris PW ISNU Jawa Barat, Penggiat Kajian Sosial Politik