PERNYATAAN Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi yang mengatakan mengganti salam Assalamualaikum dengan salam Pancasila menuiai polemik. Meskipun Yudian sendiri telah mengklarifikasinya bahwa tidak ada maksud demikian.
Pandangan ini tidak akan membahas pro-kontra itu. Tetapi lebih menekankan pada korelasi Islam dengan Pancasila itu sendiri. Paling tidak pendapat ini bisa menyetop upaya “politisasi” pernyataan Kepala BPIP tersebut.
Beberapa waktu lalu, belum terlalu lama, penulis ingat betul sempat sedikit mendiskusikan Islam dan Pancasila dengan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Miftachul Akhyar dalam sebuah kesempatan. Ada dua poin penting yang penulis petik dari diskusi tersebut.
Pertama Pancasila sebagai sikap agamis/filosofis. Dalam poin ini Pancasila dianggap sebagai filsafat NKRI, dan sama sekali bukanlah agama. Bahkan jangan sekali-kali dianggap agama atau dianggap seperti agama, baik itu dalam arti luas maupun khusus.
Islam sendiri adalah agama wahyu yang mengandung nilai dan norma Ilahi yang abadi. Kandungan nilai dan norma Ilahi inilah terkandung di dalam lima sila yang ada di Pancasila. Sila-sila tersebut tidak bertentangan dengan Islam. Pertentangan hanya bisa terjadi bila ada tafsiran maupun perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Poin kedua adalah Pancasila sebagai sikap ideologis/politis. Dalam hal ini Pancasila yang sebelumnya menjadi dasar dan filsafat NKRI, kemudian menjadi produk konsesus nasional yang dihormati sebagai landasan bersama dalam bernegara. Konsesus tersebut mengikat beragam aliran, golongan antar-warga NKRI yang harus ditegakkan bersama dengan tetap saling menghormati identitas masing-masing.
Nah, oleh karenanya itu, Pancasila bisa juga merupakan cita-cita luhur dari Islam, karena lima sila di dalamnya mengandung lima cita kebajikan yang menjadi tujuan Islam. Pelaksanaannya dikembalikan kepada faktor manusia-manusianya. Pertanyaannya kemudian, apakah ada di antara kita yang mampu mengungkap semua isi ajaran Islam?
Loyalitas kepada Pancasila dipengaruhi oleh sikap, perkataan, perbuatan seseorang terhadap nilai, cita-cita dan makna yang terkandung di dalam lima sila. Untuk itu, perlu kita tegaskan, semestinya yang ditolak adalah segala bentuk penyimpangan penafsiran dan pengamalan dari Pancasila.
KH As’ad Syamsul Arifin dan KH Ahmad Siddiq keduanya ulama NU pernah mendiskusikan tentang “Pancasila tidak akan menggeser agama, demikian agama tidak akan di Pancasila-kan.” Perbincangan inilah yang akhirnya dirumuskan dalam bentuk “Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam,” yang dirumuskan melalui Munas Alim Ulama NU di Situbondo pada 1983. Melalui munas tersebut, para ulama tercatat telah meletakkan hubungan yang proporsional antara agama dan Pancasila secara syar’i maupun siyasi.
Sebagai basis moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan, Pancasila memiliki landasan ontologis, epistomologis dan aksiologis yang kokoh. Masing-masing sila memiliki justifikasi historisitas, rasionalitas dan aktualitasnya yang manakala ini dipahami, dihayati, diyakini, dipercayai dan diamalkan secara konsisten akan menopang capaian-capaian agung nilai kemanusiaan yang oleh para ulama juga menjadi titik tekan ajaran Islam.
Penulis: Sonny Majid, Peneliti Senior Candidate Centre