Selama beberapa tahun terakhir perekonomian Indonesia kerap dibayangi oleh defisit transaksi berjalan dan defisit neraca perdagangan yang tak kunjung bisa diselesaikan. Salah satu penyebabnya adalah terlalu tingginya impor, terutama di sektor minyak dan gas (migas).
Saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 di Istana Negara, Senin, 16 Desember 2019, Presiden mendorong transformasi ekonomi untuk mengatasi permasalahan tersebut.
“Kita ini berpuluh tahun memiliki masalah besar defisit transaksi berjalan, defisit neraca perdagangan gara-gara impor kita lebih besar dari ekspor kita. Dikit-dikit ngimpor, dikit-dikit ngimpor, terutama yang berkaitan dengan energi, barang modal dan bahan baku,” kata Presiden.
Impor di sektor migas menurut Kepala Negara sudah kelewat besar, yakni mencapai 700-800 ribu barel per hari. Hal ini yang kemudian membebani neraca transaksi berjalan dan neraca perdagangan Indonesia. Padahal, Presiden mencontohkan, Indonesia sendiri mampu untuk menghasilkan gas dari substitusi batu bara yang melimpah.
“Lah kok impor? Lah ini yang senang impor. Bukan saya cari, sudah ketemu siapa yang senang impor, sudah ngerti saya. Hanya perlu saya ingatkan bolak-balik, hati-hati. Kamu hati-hati, saya ikuti kamu. Jangan menghalangi orang ingin membikin batu bara menjadi gas gara-gara kamu senang impor gas. Kalau ini bisa dibikin, ya sudah enggak ada impor gas lagi,” tegasnya.
Presiden menyayangkan Indonesia masih mengimpor minyak padahal sumur-sumur minyak Indonesia masih banyak. Demikian juga dengan impor avtur yang sebetulnya bisa ditekan karena salah satu turunan dari crude palm oil (CPO) adalah avtur.
“Kok kita senang impor avtur? Karena ada yang hobinya impor karena untungnya gede. Sehingga transformasi ekonomi di negara kita ini mandek gara-gara hal seperti ini,” imbuhnya.
Presiden lantas menyinggung Indonesia yang tidak pernah membangun kilang minyak selama 34 tahun. Padahal, jika Indonesia bisa membangun kilang minyak, Indonesia bisa mendapatkan banyak produk turunan sehingga tidak perlu mengimpor petrokimia yang nilainya sangat besar.
“Impor petrokimia ini gede sekali, Rp323 triliun impor kita petrokimia. Saya hapal di luar kepala karena tiap hari jengkel, jadi hapal. Coba, triliun ya bukan miliar,” katanya.
Di samping itu, Presiden juga menyayangkan Indonesia masih mengekspor bahan-bahan material dalam bentuk mentah, seperti nikel, bauksit, dan batu bara. Melalui transformasi ekonomi, Presiden ingin agar barang-barang tersebut diekspor dalam bentuk setengah jadi atau bahan jadi.
“Ini yang harus diubah menjadi barang jadi atau bahan setengah jadi minimal. Kalau ini bisa dilakukan, target saya tiga tahun ini harus rampung hal-hal yang tadi saya sampaikan. Daerah saya minta ini dibantu hal-hal seperti ini untuk perizinan sehingga transformasi ekonomi itu betul-betul terjadi. Kalau ini terjadi, enggak ada yang namanya defisit transaksi berjalan lagi. Gol kita ke sana,” ungkapnya.