Pilkada Tangsel; Bermain Kartu Truf

HIRUK-pikuk Pilkada Tangsel mulai terasa. Perang udara mulai menggiring opini. Mulai dari meme Dinasti Vs Istana, paket Benyamin Davnie-Pilar Saga Ichsan yang katanya bakalan diusung Partai Golkar.

Sampai yang terakhir beredar di lini video pendek masa adalah pertemuan Muhammad-Azmi Abu Bakar yang disebut-sebut berduet dan akan diusung oleh partai Banteng moncong putih (PDI Perjuangan) dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Dalam kampanye kesemuanya itu adalah lumrah, selain sebagai ajang sosialisasi, linimasa sekaligus bisa merebut ruang-ruang klaim. Sementara belum satupun partai politik mengumumkan secara resmi siapa-siapa bakal calon walikota dan wakil walikota yang akan diusung.

Memang pilkada kali ini ibarat truf bermain kartu. Masing-masing bakal calon yang menyatakan diri bertarung dalam kontestasi lima tahunan ini, bisa dianggap masih “sama-sama orang dalam.”

Lihat saja disitu ada Benyamin Davnie yang notabene wakil walikota, Muhammad sebagai sekretaris daerah, kemudian ada Tommy Patria yang juga lurah, Dudung Diredja yang juga mantan sekda, banyak lagi tak perlu disebutkan satu-persatu. Di antara mereka masing-masing memegang “kartu As,” yang bisa saja nanti saling serang atau berakhir di titik kompromi. Kenapa demikian karena dalam permainan kartu, hanya ada satu pengocok.

Analisisnya begini, pasangan A dipersiapkan untuk menang, tetapi ada belakangan ada pasangan B yang dihitung sebagai lawan barat. Untuk memecah kebuntuan itu, maka si pengocok menyiapkan pasangan lainnya sebagai partner “silent” sebut saja pasangan C yang berperan sebagai pemecah konsentrasi. Pertanyaannya kemudian kehadiran pasangan C ini akan menguntungkan pasangan A atau pasangan B?

Tidak hanya pasangan, tokoh-tokoh politik saja sepertinya ikut nimbrung dalam bermain kartu ini. Kenapa demikian? Karena tokoh-tokoh politik tersebut juga merupakan rekan si pengocok kartu. Ini juga akan berujung pada orang-orang yang disusupkan kiri-kanan ke masing-masing tim pasangan A, B dan C. Jika kita sulit menafsirkan tulisan ini harap maklum, namanya juga truf permainan kartu yang bisa berujung pada kompromi di akhir permainan.

 

Kritik Atas Cara-cara

Dalam kontestasi pilkada manapun yang namanya petahana paling berpotensi melakukan kecurangan. Ia memiliki instrumen yang sudah mapan, mulai dari jaringan birokrasi, ekonomi, sampai jaringan akar rumput. Yang tadinya “uang muka” proyek-proyek pemda hanya dikutip 12 persen, gegara menyiapkan logistik bisa bengkak sampai 15 persen.

Kita lihat saja billboard yang terpampang di seantero Tangsel, sangat didominasi oleh pasangan petahana. Sementara pasangan lain bisa dihitung dengan jari. Entahlah apakah itu bagian dari penyalahgunaan kekuasaan atau bahasa kerennya disebut dengan “abuse of power.”

Jika sebagai warga biasa melacak bagaimana proses pemasangan tersebut apakah sudah sesuai dengan prosedur, rasanya tak mungkin sebagai warga biasa bisa menjamah sampai wilayah itu. Ini bukan pemandangan yang biasa secara awam.

Ironisnya lagi penggunaan birokrasi sebagai mesin pemenangan. Di Tangsel sendiri gosipnya ada salah satu calon turun ke bawah ditenteng-tenteng oleh kalangan aparatur sipil negara yang disingkat ASN. Di lain sisi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sibuk berkampanye tentang netralitas ASN. Dua kejadian yang kontraproduktif.

Soal video pendek salah satu bakal calon bertemu dengan bakal calon wakilnya yang beredar di linimasa juga menjadi tandatanya besar? Apakah benar sudah ditetapkan akan diusung oleh partai tertentu? Sementara si bakal calon notabene masih berstatus ASN. Tapi bisa saja sudah tidak? Hanya saja wajar karena selama ini tidak pernah tersampaikan secara utuh, apakah semua bakal calon yang ASN sudah resmi mengundurkan diri. Kita tunggu saja selanjutnya kocokan kartu sambil menyeruput kopi. (Redaksi)

Exit mobile version