Perang Tingkat Dewa; Naga Sinyal Versus Corona Virus

ADA yang menarik dari tulisan M. Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI) yang menyebut “Jangan-jangan corona virus itu bagian dari senjata biologi Amerika Serikat (AS) yangs sengaja dibocorkan untuk menghancurkan Cina dari internal?” Inilah yang disebut dengan false flag operation atau playing victim dalam skenario konspirasi. Perlu diketahui, masih menurut tulisan Arif Pranoto, Cina adalah pemilik cadangan devisa terbesar dalam bentuk dollar AS. Cina juga pemegang surat utang terbesar Negeri Paman Sam tersebut.

Di sisi lain Cina kini tengah fokus merealisasikan Digital Silk Road (DSR) yang banyak kalangan menyebutnya sebagai proyek “Naga Digital.” Dalam proyek ini Cina merambah pengembangan infrastruktur teknologi informasi dengan pemainnya seperti China Mobile, China Telecom dan China Unicorn.

Ternyata hanya persoalan sinyal inilah antara AS dan China beberapa waktu lalu sempat “perang dagang” sebagaimana ekspose di banyak media. Ketika Cina mengembangkan 5G, AS terlihat nampak ketar-ketir “jangan sampai Cina menjadi penguasa big data.”

Meski belakangan keakuran antara Cina dan AS terlihat sejak Bank Dunia menggelontorkan uang kepada ZTE sebesar 23 juta dollar AS untuk membangun jaringan serat optik di Afghanistan. Diduga penyaluran itu sebagai pertanda berakhirnya perang dagang AS vs Cina, bisa jadi.

Ketika Huawei menjajaki babak awal 5G di kawasan Asia Tenggara seperti di Thailand ditambah Alibaba Cloud membuka pusat datanya yang kedua di Indonesia, memantik perusahaan AS seperti Google, Twitter dan Facebook yang tak mau kalah bersaing. Meski tak seagresif perusahaan yang dimiliki Cina. Intinya, masih terjadi perang sinyal dalam komputasi awan, jaringan 5G dan e-payment. Termasuk yang baru-baru ini ramai diberitakan terkait Google mencabut dukungannya aplikasi android pada produk Huawei, ini sepertinya bagian dari perang sinyal.

Lantas dimana hubungannya antara Naga Digital dan Corona Virus di dalam tulisan ini? yang pasti ini hanya perspektif. Begini, dulu AS selalu menerapkan metode “utang dibayar dengan bom,” ini hampir banyak diterapkan khususnya di negara-negara di Timur Tengah. Tentu masih ingat bagaimana Muammar Gaddafi, pemimpin Libya ingin menyingkirkan dollar AS sebagai alat transaksi perdagangan minyak, Gaddafi ketika itu ingin menerapkan pembayaran menggunakan emas. Sontak rencana Gaddafi tersebut membuat Barat emosi. Di bombardir lah Libya, Gaddafi pun tewas.

Belum lagi penolakan Saddam Husein atas proposal NATO tentang pangkalan militer, yang berakhir pada agresi militer dan selanjutnya penguasaan kawasan minyak dimana ISIS- sebagai “anjing penyalak-nya.”

Nah, terjadi kemungkinan-kemungkinan merebaknya Corona virus sebagai metode “Utang dibayar virus.” Ada dua pandangan: pandangan pertama bisa jadi virus corona bukanlah milik Cina, tetapi negara lain yang sengaja dibocorkan di wilayah Cina, sehingga menjadi tertuduh banyak negara. Efek Corona virus bisa memicu dampak ekonomi ke sejumlah negara.

Lihat saja bagaimana menurunnya perjalanan ke luar negeri akibat penularan, tiket perjalanan maskapai penerbangan anjlok, dampaknya sektor pariwisata di banyak negara amblas. Yang terbaru adalah pelarangan Arab Saudi untuk umroh, sudah pasti ini menurunkan pendapatan negara kerajaan tersebut. Belum lagi sejumlah perusahaan android seperti Samsung milik Korea Selatan menyetop produksinya. Ini juga berdampak kepada Indonesia yang tengah membutuhkan banyak uang untuk membangun ibukota baru di Kalimantan Timur.

Pandangan kedua, bisa jadi virus corona milik Cina yang juga sengaja dibocorkan untuk memberi pesan kepada negara-negara pesaing, bahwa “jangan macam-macam dengan kami, kami punya senjata biologi,’ memperebutkan pengaruh dengan AS. Kita hanya bisa menyaksikan perang tingkat tinggi sinyal 5G dan corona virus.

Oleh: Sonny Majid, Pengkaji Ekopol Aktivis NU, Peneliti Senior Candidate Centre

Foto: dok.klikpositif

Exit mobile version