Bandung – Kamis, tepatnya 2 April lalu, sebuah pesawat yang penuh masker buatan China bersiap-siap untuk terbang ke Prancis. Jean Rottner, Kepala Wilayah Prancis Timur mengatakan bahwa pihaknya sebelum masker itu diberangkatkan, Amerika Serikat (AS) katanya sudah membayar tiga sampai empat kali lipat dari yang ia tawarkan.
Akhirnya, masker itu pun tidak jadi diterbangkan ke Prancis, berbalik haluan ke AS.
Prancis bukan kali pertama mencoba mengambil alih masker asal negeri tirai bambu tersebut. Bahkan kabarnya, Prancis sempat merampas masker jatah Swedia, sebagaimana ditulis media Prancis L’Express.
Dina Sulaiman, penggiat kajian hubungan internasional sebagaimana dalam artikelnya yang ditulis di dinasulaeman.wordpress.com menyebutkan, L’Express melaporkan bahwa Paris mengambil stok dari produsen Swedia, Molnlycke yang rencananya akan dikirim ke Spanyol dan Italia.
Kementerian Luar Negeri Swedia memprotes tindakan itu. Mereka mengatakan agar Prancis menjamin keamanan rantai suplai dan transportasi barang.
Dalam artikelnya, Dina juga melaporkan selain Swedia, Jerman juga ikutan curhat mengenai pengiriman masker yang sudah dipesan dari China, untuk petugas polisi di Jerman, saat ingin dipindah pesawat di Thailand, masker tersebut malah dialihkan menuju AS.
Andreas Geisel, Menteri Dalam Negeri untuk Berlin state, menyebut kelakuan AS ini sebagai “pembajakan modern” dan menyerukan kepada pemerintah Jerman untuk menuntut Washington agar mematuhi aturan perdagangan internasional.
“Ini bukan cara untuk memperlakukan mitra trans-Atlantik,” kata Geisel. “Meski ini sedang krisis global seharusnya tidak ada gaya liar Barat [koboy],” Geisel menambahkan.
Atas tudingan itu, pemerintah AS membantah. Washington menegaskan, bahwa pemerintah AS tidak sama sekali membeli masker dari China yang akan dikirim ke Prancis. Pemerintah AS justru menuding tindakan tersebut adalah kelakuan para pembeli yang notabene adalah perusahaan swasta atau makelar.
Perdana Menteri Kanada, Trudeau, ternyata sebelumnya juga sudah curhat. Ia katakan, “Saya prihatin karena masker yang datang lebih sedikit daripada yang kami pesan, karena telah dijual kepada pembeli dengan harga lebih tinggi.”
“Kami memahami bahwa kebutuhan di AS sangat besar, tetapi demikian pula Kanada, jadi kita harus bekerja sama,” tambah Trudeau.
Cerita lain juga diungkapkan anggota Parlemen Ukraina, Andriy Motovylovets. Kejadiannya pada medio Maret, dirinya langsung datang ke China guna memastikan pengiriman masker ke Ukraina. Ternyata, staf Kedutaan Ukraina yang datang ke pabrik masker, bertemu dengan kolega mereka dari Rusia, AS, dan Prancis, yang berusaha merebut pesanan Ukraina.
“Kami telah membayar di muka melalui transfer dan telah menandatangani kontrak. Tetapi mereka memiliki lebih banyak uang, dalam bentuk tunai. Kami harus berjuang untuk setiap pengiriman,” ujar Motovylovets.
Slovakia beda lagi. Melalui Perdana Menteri Peter Pellegrini mengatakan, dalam urusan pembelian masker, uang tunai adalah raja.
“Kami sudah menyiapkan uang tunai senilai 1,2 juta Euro dalam sebuah koper. Kami berencana menggunakan penerbangan khusus pemerintah dan mendapatkan masker dari pemasok China. Tapi, dealer dari Jerman datang lebih dulu, membayar lebih banyak dan dialah yang mendapatkannya.”
Lalu bagaimana Indonesia? Indonesia bertindak lebih cepat. Tanggal 24 Maret diberitakan, pemerintah telah membatalkan rencana ekspor ratusan ribu alat pelindung diri (APD) ke Korea Selatan. APD tersebut disalurkan untuk kebutuhan para petugas medis dalam negeri. Ternyata saat ini ada sekitar 25 produsen masker dan 23 produsen APD di Indonesia. Sebelum ada wabah corona, mereka memang sudah biasa mengekspor produknya.
Kata Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo, pihaknya sudah mengajak Kemenperin untuk mendorong industri dalam negeri memproduksi APD, masker, hand sanitizer dan kebutuhan lain dalam menghadapi pandemi corona.
“Semua industri yang berpotensi untuk mendukung penanganan Covid-19 ini akan dioptimalkan,” kata Doni.
Selain itu, UKM-UKM sudah bergerak, memproduksi APD sendiri. Ini saya tahu langsung dari pelaku UKM Jawa Barat. Ibu-ibu Indonesia pun ramai-ramai jahit masker sendiri, ada yang dijual (dengan harga murah), ada pula yang dibagikan gratis. Hand sanitizer juga dibikin swadaya oleh berbagai elemen masyarakat. Bahkan kini insinyur ITB sudah mendesain ventilator.
Inilah modal besar bangsa yang dimiliki bangsa Indonesia: sikap gotong royong, rajin, dan kreatif.
“Yuk, kita pertahankan sifat-sifat luhur ini baik-baik. InsyaAllah, dengan swadaya dan mengerahkan seluruh potensi bangsa, krisis APD ini bisa diselesaikan tanpa harus ‘merampok’ ala negara-negara kaya itu,” ajak Dina.
Kita hempaskan saja para makelar masker dan APD yang tega menaikkan harga berlipat-lipat di saat bangsa ini didera musibah. (Ann)