Jakarta (03/09) Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Bintang Puspayoga menyampaikan realisasi program kerja dan anggaran Kemen PPPA untuk semester awal tahun 2024 dalam rapat kerja dengan Komite III DPD RI. Fokus utama rapat adalah kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan, yang sering berdampak pada perempuan dan anak.
Menteri PPPA menyampaikan bahwa anggaran tahun 2024 sebesar Rp311,6 miliar. Hingga Agustus 2024, realisasi anggaran mencapai Rp187 miliar atau 60,01% dari total pagu. Anggaran ini digunakan untuk mendukung prioritas nasional, khususnya pada PN 1 penguatan ketahanan ekonomi, PN 3 peningkatan sumber daya manusia dan PN 4 Revolusi mental dan pembangunan kebudayaan. Pada 2024, Kemen PPPA juga terkena kebijakan Automatic Adjustment sebesar Rp20,6 miliar dan mendapatkan penilaian kinerja pelaksanaan anggaran semester 1 tahun 2024 dengan kategori “Sangat Baik” dari Kementerian Keuangan.
“Data dari SIMFONI PPA menunjukkan terdapat 11.441 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2023, dengan korban sebanyak 11.712 orang. Terdapat trend peningkatan laporan kasus dari tahun ke tahun, terutama di tengah berkembangnya jaringan internet dan media sosial yang juga menghadirkan kekerasan baru, yaitu Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO),” ujar Menteri PPPA
KBG adalah tindakan yang menyebabkan penderitaan pada perempuan dalam bentuk fisik, ekonomi, seksual, dan psikologis. Menteri PPPA mengungkapkan data Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2021 yang menunjukkan bahwa 26,1% perempuan Indonesia mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual. Kasus kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga, merupakan fenomena gunung es, banyak yang tidak terlaporkan.
Untuk upaya pencegahan dan penanganan perempuan serta anak korban kekerasan di provinsi dan kabupaten/kota, pemerintah telah mengalokasikan DAK Nonfisik sejak tahun 2021. DAK Nonfisik PPA terdiri dari tiga menu, yaitu: (1) bantuan operasional pelayanan korban KTPA/TPPO, (2) bantuan operasional pencegahan KTPA/TPPA, dan (3) bantuan operasional manajemen.
Menteri PPPA juga mengungkapkan bahwa Kemen PPPA aktif dalam menangani kasus KBG, dengan beberapa kasus signifikan yang sedang ditangani, antara lain kekerasan seksual oleh pejabat Kemenag Sulawesi Barat, dugaan kriminalisasi korban KDRT di Bali, kekerasan seksual oleh pegiat perlindungan anak di Semarang, dan KDRT selebgram di Bogor.
Ketua Komite III DPR RI, Hasan Basri, menyampaikan jenis kekerasan yang paling umum adalah kekerasan seksual, yang lebih dari 50% dari total kasus. Data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa jumlah kasus KBG terhadap perempuan terus meningkat. Pada tahun 2023, Komnas Perempuan menerima 3.303 laporan terkait KBG. Kasus KBG terbanyak adalah Jawa Barat, diikuti oleh Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Sumatera Utara.
“KBG dapat terjadi dalam tiga ranah yaitu personal, publik, dan negara. Ranah personal melibatkan kekerasan dalam ruang privat oleh orang yang memiliki hubungan dekat dengan korban. Ranah publik mencakup kekerasan di tempat umum, tempat kerja, atau tempat pendidikan. Ranah negara melibatkan kekerasan oleh aparat atau institusi negara,” Ungkap Hasan.
Dengan perkembangan teknologi dan media sosial, kekerasan berbasis gender online (KBGO) semakin meningkat. Pada tahun 2023, Komnas Perempuan mencatat 1.272 kasus KBGO. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang baru telah meningkatkan kesadaran publik tentang kekerasan seksual berbasis elektronik.
“Berbagai peraturan perundang-undangan telah disiapkan untuk mengatasi KBG, termasuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, serta Permendikbud No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi dan Peraturan Menteri Agama No. 73 Tahun 2023 tentang Pencegahan kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan,”ujar Hasan.
Wakil ketua II, Muslim M yasmin menyampaikan untuk penangangan kekerasan di Sumatera Barat saja banyak melibatkan dinas terkait, melihat dana yang di miliki oleh Kemen PPPA cukup minim, ia mengungkapkan kekhawatiranya terhadap minimnya dana yang di miliki oleh Kemen PPPA. ”kami cukup khawatir dengan minimnya dana yang di berikan pada Kemen PPPA, anggaran sebesar Rp300 miliar sangat tidak memadai mengingat jumlah kasus KBG yang tinggi. Anggaran ini masih terbilang kecil dibandingkan dengan kebutuhan. Realisasi anggaran hingga semester pertama mencapai 60%, sementara beberapa kementerian lain masih di bawah 31%.” Kata Muslim.
Wakil Ketua III, Abdul Hakim, menyatakan bahwa data dari KemenPPPA menunjukkan 76% kekerasan terjadi di rumah tangga, yang merupakan lingkungan terdekat. Lingkungan yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi perempuan dan anak-anak, justru menjadi lokasi terbanyak terjadinya kekerasan. Kemudian wakil Ketua Komite III juga menyampaikan ajakan untuk bersama-sama memperjuangkan agar Kemen PPPA mendapatkan dukungan anggaran yang memadai untuk menjalankan prioritas nasional.
Kemen PPPA diharapkan dapat melakukan optimalisasi penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Nonfisik bagi program dan kegiatan yang telah ditetapkan pada tahun 2024 terhadap 305 daerah penerima, mengingat realisasinya masih pada angka kurang dari 30%. Selain itu, percepatan pengundangan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) juga diperlukan.
Komite III DPD RI mendorong pemerintah untuk meningkatkan anggaran Kemen PPPA bagi upaya pencegahan dan penanganan KBG pada tahun anggaran 2025. Komite III juga secara proporsional akan terlibat dalam implementasi seluruh program dan kebijakan Kemen PPPA di daerah, yang secara teknis akan dikomunikasikan lebih lanjut.
Kemen PPPA berkomitmen untuk terus memajukan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Dukungan dari semua pihak, baik individu maupun institusi, sangat diharapkan untuk mencapai tujuan tersebut.