WARTA INDONESIA – Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra mendesak DPR dan pemerintah menghapus pasal-pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang disinyalir mengancam kemerdekaan pers.
Azyumardi mengatakan hal demikian, karena menilai pembuat undang-undang sejauh ini tidak mengindahkan delapan poin keberatan Dewan Pers terhadap sejumlah pasal dalam draf RKUHP 2019 pada naskah yang terbaru.
“Setelah mempelajari materi RUU KUHP versi terakhir 4 Juli 2022, Dewan Pers tidak melihat adanya perubahan pada delapan poin yang sudah diajukan,” kata Azyumardi di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Jumat (15/7).
“Untuk itu Dewan Pers menyatakan agar pasal-pasal di bawah ini dihapus karena berpotensi mengancam kemerdekaan pers, mengkriminalisasi karya jurnalistik dan bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam UU Pers 40/1999 tentang Pers,” imbuhnya.
Pasal-pasal yang dimaksudkan Azyumardi dalam RKUHP terbaru itu beberapa di antaranya adalah Pasal 184 tentang Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara, Pasal 218-220 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden.
Lalu, Pasal 240-241 tentang Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah yang Sah.
Kemudian Pasal 263-264 tentang Tindak Pidana Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong, Pasal 280 tentang Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan, Pasal 302-304 tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan.
Lalu Pasal 351-352 tentang Tindak Pidana terhadap Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara, Pasal 440 tentang Tindak Pidana Penghinaan, serta Pasal 437 dan 443 tentang Tindak Pidana Pencemaran.
Dewan Pers, kata Azyumardi, menilai pasal-pasal tersebut multitafsir dan berpotensi membelenggu kebebasan pers.
Beberapa substansi dalam sejumlah pasal juga berpotensi mengancam kemerdekaan pers. Seperti misalnya, larangan menyiarkan hal berbau komunisme marxisme, dan leminisme.
Dalam rancangan aturan itu, apabila tulisan memuat tentang komunisme lalu menimbulkan kegaduhan, jurnalis dapat dipidana dengan ancaman dua tahun penjara meski tulisan itu bernada kritis.
“Kalau misal menimbulkan kegaduhan maka kemudian bisa ditambah hukumannya. Kalau kegaduhannya menimbulkan korban luka atau ada yang cidera itu hukumannya nambah. Itu contohnya,” ujar dia.
Selain itu, Azyumardi juga menilai jurnalis rentan menjadi objek kriminalisasi. Jurnalis tak diperbolehkan mengkritik pemerintah bila tak mengikutsertakan solusi di tulisannya.
“Kalau kita mengkritik ya boleh mengkritik tapi harus ada solusinya. Oleh karena itu media yang memuat kritik tapi tidak ada solusi itu bisa kena delik. Walaupun kemudian pihak pemerintah ketika saya tanya soal ini ya dia bilang ya ga harus begitu, tapi kan pengalaman kita pasal-pasal seperti itu seperti pasal karet yang ada di UU ITE,” tuturnya.
Ia juga menyayangkan keputusan pemerintah dan DPR yang tak lagi mengundang Dewan Pers untuk mendiskusikan RKUHP. Pasalnya, pembahasan RKUHP perlu melibatkan partisipasi publik, termasuk mereka yang terdampak langsung.
Dewan Pers pun berharap dapat diundang kembali oleh DPR dan pemerintah untuk bersama-sama mengkaji ulang RKUHP.
“Coba diundang, dibahas kembali pasal-pasal yang kontroversial itu agar kita diskusikan kembali. Memang yang kontroversial itu jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak kontroversial ada banyak, tapi yang kontroversial ini seperti menyangkut kehidupan pers. Itu sangat berbahaya bagi kehidupan pers kita di masa depan,” tutupnya.